WARTAGLOBAL.id , Jakarta – Hari Pers Nasional (HPN) 2025 yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kembali menuai polemik. Dewan Pers (DP) menegaskan tidak akan menghadiri acara tersebut karena menganggap PWI masih terjebak dalam konflik dualisme kepemimpinan yang belum terselesaikan. Meski tanpa dukungan DP, acara tetap berlangsung di dua lokasi berbeda—Pekanbaru dan Banjarmasin—dengan masing-masing kubu mengklaim sebagai kepengurusan yang sah.
Ketua Dewan Pers, Dr. Ninik Rahayu, sebelumnya telah melarang penggunaan kantor PWI di Gedung Dewan Pers serta menolak mengakui lembaga Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dikelola PWI. Selain itu, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) juga belum mengeluarkan pengakuan resmi terhadap kepemimpinan Hendry CH Bangun, yang menjadi salah satu tokoh utama dalam perseteruan ini. Kondisi ini semakin mempertegas bahwa legalitas PWI masih dipertanyakan.
Di tengah ketidakpastian tersebut, gelaran HPN tetap menyedot anggaran besar, termasuk dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta sponsor dari pengusaha dan perusahaan. Beberapa daerah bahkan mengeluarkan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) bagi wartawan yang ingin menghadiri acara tersebut, mengulang pola yang kerap terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Praktik ini menimbulkan kecurigaan bahwa HPN tidak sekadar menjadi perayaan pers, tetapi juga ajang berburu dana dari berbagai sumber.
Tak hanya pemerintah daerah, sejumlah pejabat dan instansi juga disebut menerima proposal permohonan dana dari oknum wartawan yang ingin berangkat ke lokasi acara. Dugaan gratifikasi pun mencuat, di mana sejumlah pejabat diduga mengalokasikan dana dari pos anggaran yang tidak semestinya untuk membiayai keberangkatan peserta. Hal ini menambah daftar panjang permasalahan transparansi dalam penyelenggaraan HPN.
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, secara tegas menyatakan bahwa PWI sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Menurutnya, organisasi ini seharusnya dibubarkan jika tidak mampu menyelesaikan konflik internalnya. Pernyataan ini semakin memperkeruh citra PWI di tengah berbagai kritik yang mengarah pada organisasinya.
Sementara itu, publik mempertanyakan peran pemerintah dalam mengatasi kekisruhan ini. Apakah Dewan Pers akan mengambil langkah lebih tegas untuk menertibkan organisasi pers, atau justru membiarkan PWI menyelesaikan konfliknya sendiri? Keputusan ini akan sangat berpengaruh terhadap arah masa depan organisasi wartawan tertua di Indonesia tersebut.
HPN 2025 yang seharusnya menjadi ajang perayaan bagi insan pers kini justru menjadi simbol krisis yang belum terselesaikan. Jika masalah dualisme kepemimpinan ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kepercayaan terhadap PWI semakin luntur, dan eksistensinya dalam dunia jurnalistik Indonesia kian dipertanyakan.[AZ]
Editor:Johandi

KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment