foto: contoh bukti kepemilikan yang sah.(SHM)
Kalbar,Wartaglobal id.Pontianak-Kepemilikan tanah di Indonesia masih diwarnai dengan penggunaan dokumen lama seperti girik, SPPT PBB, Letter C, Petok D, dan Akta Jual Beli (AJB) tanpa sertifikat. Namun, pakar hukum agraria menegaskan bahwa dokumen-dokumen tersebut tidak memiliki kekuatan hukum penuh dalam membuktikan kepemilikan tanah. Dalam sistem hukum pertanahan Indonesia, hanya Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang diakui sebagai bukti kepemilikan yang sah.
Contoh: Surat Verponding.(Surat zaman kolonial Belanda)
“Banyak masyarakat yang masih menganggap girik atau SPPT sebagai bukti kepemilikan tanah, padahal dokumen-dokumen ini tidak menjamin kepastian hukum. Jika tanah yang bersangkutan sudah bersertifikat atas nama orang lain, maka girik otomatis tidak berlaku,” ujar Dr. Budi Santoso, pakar hukum agraria dari Universitas Indonesia, dalam seminar pertanahan di Jakarta, Senin (10/2).Dokumen Lama Tidak Menjamin Hak Kepemilikan
1. Girik: Sekadar Catatan Pajak, Bukan Bukti Kepemilikan
Girik adalah dokumen lama yang digunakan untuk mencatat pembayaran pajak tanah pada zaman kolonial Belanda. Hingga tahun 1960-an, girik sering dijadikan sebagai bukti penguasaan tanah di desa-desa. Namun, menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, girik bukanlah bukti hak milik yang diakui secara hukum.
“Girik itu hanya catatan administratif yang tidak memiliki kepastian hukum. Jika tanah sudah bersertifikat, maka girik tidak bisa dijadikan dasar untuk menggugat kepemilikan,” jelas Dr. Budi.
Kelemahan utama girik adalah:
- Tidak tercatat di BPN, sehingga bisa tumpang tindih dengan sertifikat tanah yang sah.
- Rentan dipalsukan atau diterbitkan ulang, menyebabkan konflik kepemilikan.
- Tidak mencantumkan batas tanah secara jelas, sehingga sering menjadi sumber sengketa.
2. SPPT PBB: Bukti Pembayaran Pajak, Bukan Bukti Kepemilikan
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT PBB) adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Kantor Pajak sebagai bukti bahwa seseorang telah membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Namun, SPPT tidak bisa dijadikan dasar kepemilikan tanah.
“Kita sering menemukan kasus di mana orang yang bukan pemilik tanah tetap membayar pajak, lalu mengklaim kepemilikan berdasarkan SPPT. Ini kesalahan besar, karena SPPT hanya menunjukkan bahwa pajak telah dibayarkan, bukan bahwa seseorang adalah pemilik sah tanah tersebut,” kata Anton
3. Letter C dan Petok D: Hanya Catatan Desa, Tidak Memiliki Kekuatan Hukum
Letter C dan Petok D adalah dokumen yang dikeluarkan oleh desa untuk mencatat kepemilikan tanah sebelum sistem sertifikasi diterapkan oleh pemerintah. Namun, karena tidak terdaftar di BPN, dokumen ini tidak bisa digunakan sebagai bukti hukum yang kuat.
“Di desa, banyak tanah diwariskan dengan hanya mengandalkan Letter C, tetapi ketika masuk ke ranah hukum, ini tidak cukup kuat. Harus ada sertifikat dari BPN agar kepemilikannya diakui secara legal,” tambah Anton.
4. Akta Jual Beli (AJB) Tanpa Sertifikat: Tidak Menjamin Hak Milik
Banyak orang membeli tanah dengan Akta Jual Beli (AJB) tetapi tidak mendaftarkannya ke BPN untuk mendapatkan sertifikat. Ini menjadi celah hukum yang berbahaya, karena tanpa sertifikat, AJB hanya membuktikan bahwa transaksi terjadi, tetapi tidak mengikat secara hukum jika ada pihak lain yang memiliki SHM atas tanah yang sama.
“Jika ada orang lain yang memiliki SHM atas tanah tersebut, pemegang AJB hampir pasti kalah dalam sengketa. Jadi, sangat penting untuk segera mengurus sertifikasi setelah transaksi,” tegas Dr. Budi.Mengurus Sertifikat Tanah untuk Mencegah Sengketa
Pemerintah telah berupaya menyelesaikan permasalahan ini melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang memungkinkan masyarakat mengurus sertifikasi tanah dengan biaya terjangkau.
“Kami mengimbau masyarakat yang masih menggunakan girik atau dokumen lama agar segera mengurus sertifikat tanah ke BPN. Ini penting untuk menghindari konflik kepemilikan di kemudian hari,” kata Anton.
Masyarakat yang masih memegang dokumen lama bisa melakukan langkah-langkah berikut untuk mendapatkan sertifikat tanah:
- Mengajukan permohonan sertifikasi tanah ke BPN melalui program PTSL atau pendaftaran tanah reguler.
- Melengkapi dokumen kepemilikan tanah, termasuk girik, SPPT, atau AJB, serta surat keterangan dari desa/kecamatan.
- Melakukan verifikasi kepemilikan dan batas tanah agar tidak tumpang tindih dengan tanah lain.
- Mengurus sertifikat dengan bantuan notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) jika diperlukan
Dengan semakin ketatnya sistem pertanahan di Indonesia, kepemilikan tanah tanpa sertifikat semakin berisiko. Tanpa SHM, seseorang tidak memiliki perlindungan hukum jika tanahnya disengketakan oleh pihak lain yang memiliki bukti kepemilikan lebih kuat.
"Jangan sampai masyarakat menunda-nunda sertifikasi tanah. Semakin lama dibiarkan, semakin besar risiko kehilangan hak atas tanah," kata Anton.
Ke depan, pemerintah akan terus mempercepat sertifikasi tanah di seluruh Indonesia untuk menghindari sengketa dan mafia tanah yang memanfaatkan kelemahan dokumen lama. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk segera mendaftarkan tanah mereka ke BPN agar mendapatkan kepastian hukum yang jelas.(Kzn blangker)

KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment