PETI di Sungai Kapuas Kembali Menggila: Diduga Dibekingi Oknum Aparat, Alam Sanggau Menjerit - Warta Global Kalbar

Mobile Menu

Top Ads

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

PETI di Sungai Kapuas Kembali Menggila: Diduga Dibekingi Oknum Aparat, Alam Sanggau Menjerit

Friday, 17 October 2025

Kalbar.WARTAGLOBAL.id-- Sanggau 17 Oktober 2025, Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) kembali menggila di aliran Sungai Kapuas, tepatnya di Desa Semerangkai, Kabupaten Sanggau. Suara meraung mesin dompeng kini terdengar nyaring, memecah keheningan sungai yang selama ini menjadi nadi kehidupan warga. Sungai kembali keruh, ikan-ikan menghilang, dan aroma solar bercampur lumpur seolah menjadi “bau resmi” dari praktik tambang ilegal yang tak pernah benar-benar berhenti.

Padahal, beberapa bulan lalu aktivitas ini sempat lenyap setelah viral di media sosial. Tapi seperti biasa, ketenangan itu hanya sementara. Begitu pemberitaan mereda, para penambang kembali beraksi, seolah ada kekuatan besar yang membuat hukum lumpuh di hadapan mereka.

Diduga Ada “Tangan Besar” di Balik Kembalinya Tambang Ilegal

Masyarakat setempat mulai geram. Mereka menuding ada oknum aparat penegak hukum (APH) yang menjadi “tameng” di balik beroperasinya PETI di wilayah tersebut. Dugaan ini bukan tanpa alasan, para cukong dan pemodal tambang ilegal di Sanggau sudah dikenal luas, namun anehnya, tak satu pun dari mereka pernah benar-benar disentuh hukum.

“Yang ditangkap paling operator kecil, yang cuma dapat upah harian. Sementara bos-bosnya masih bebas keluyuran,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas?
Jika benar ada aparat yang bermain, maka persoalan PETI bukan lagi sekadar pelanggaran tambang, tapi sudah menjelma menjadi kejahatan terstruktur dan sistematis.

Alam Rusak, Sungai Kapuas Menangis

Dampak aktivitas PETI sudah tak bisa ditutup-tutupi. Merkuri dan sianida dari proses penambangan mencemari Sungai Kapuas, merusak habitat ikan dan biota sungai, bahkan meresap ke sumber air warga. Tanah di sekitar bantaran sungai menjadi labil dan rawan longsor.

Warga yang dulu menggantungkan hidup dari sungai kini hanya bisa pasrah. “Airnya bau logam, ikan mati, dan hasil tangkapan berkurang. Sungai kami sudah sakit,” keluh seorang nelayan di Semerangkai.

PETI bukan hanya soal tambang ilegal, tapi soal kehancuran ekosistem dan masa depan generasi berikutnya.

Hukum Dilecehkan Secara Terang-Terangan

Padahal, hukum jelas mengatur dan melarang praktik tambang tanpa izin.

Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba menegaskan: setiap orang yang menambang tanpa izin bisa dipenjara 5 tahun dan didenda Rp100 miliar.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup juga memberi ancaman 10 tahun penjara bagi perusak lingkungan.

Bahkan penggunaan BBM bersubsidi untuk kegiatan PETI melanggar UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas.

Namun, aturan tinggal aturan. BBM subsidi yang seharusnya untuk rakyat malah mengalir deras ke mesin-mesin dompeng PETI. Penyalur dan pengecer pun seakan kebal, tak pernah tersentuh hukum.

Desakan untuk Kapolda Kalbar: Buktikan Ketegasan, Jangan Cuma Wacana!

Masyarakat kini menagih janji Kapolda Kalbar Irjen Pol Dr. Pipit Rismanto yang pernah berjanji akan menindak tegas pelaku PETI. Warga menunggu langkah nyata, bukan sekadar operasi seremonial yang hanya menakuti penambang kecil.

Publik mendesak agar aparat benar-benar menyasar cukong besar, pemodal, dan pihak yang membekingi aktivitas ilegal ini. Jika tidak, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum akan hancur.

Negara Harus Hadir, Bukan Hanya Menonton

Fenomena PETI di Sanggau adalah potret kegagalan negara dalam melindungi rakyat dan lingkungannya. Jika praktik ini terus dibiarkan, bukan hanya Sungai Kapuas yang akan mati, tapi juga wibawa hukum dan moral bangsa.

Satu hal pasti : PETI bukan sekadar tambang emas ilegal. Ia adalah simbol kerakusan, pembiaran, dan pengkhianatan terhadap alam.
Dan jika hukum masih bungkam, maka bencana ekologis hanya tinggal menunggu waktu.


Editor     : Muchlisin
Sumber : Tim Investigasi WGR


Klik