
Kalbar.WARTAGLOBAL.id-- Dua perusahaan yang beroperasi di Desa Pesaguan Kiri, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, yakni PT Sigma Prima Indonesia (PT SPI) dan PT Tri Sigma, tengah menjadi sorotan setelah sekelompok warga menuduh kegiatan mereka merusak makam keramat dan tempat ziarah leluhur.
Namun, hasil penelusuran di lapangan menunjukkan fakta berbeda. Berdasarkan dokumentasi foto drone perusahaan, lokasi yang dipermasalahkan ternyata berupa lahan kelapa dan semak belukar, bukan situs keramat seperti yang diklaim. Bahkan, sejumlah tokoh agama setempat menegaskan bahwa makam yang ditemukan tidak memiliki catatan sejarah, silsilah, atau tokoh yang dikenal masyarakat.
“Tidak ada bukti bahwa itu makam keramat. Nama dan asal-usulnya saja tidak diketahui,” ujar salah satu tokoh agama yang enggan disebut namanya, Senin (13/10/2025).
Pihak PT SPI membantah tudingan tersebut dan menilai isu makam serta pembakaran lahan sengaja digoreng untuk menyudutkan perusahaan. “Semua bisa dibuktikan dengan dokumentasi video dan foto di lapangan,” tegas perwakilan perusahaan.
Sementara itu, Kepala Desa Pesaguan Kiri, M Amin, mengonfirmasi bahwa makam pertama kali ditemukan oleh pihak perusahaan sendiri, lalu dilaporkan ke desa dan tokoh agama. “Saran tokoh agama saat itu, makam tidak perlu dipindah, cukup ditinggikan dan dibuatkan akses jalan,” jelasnya.
Terkait tudingan perusakan hutan mangrove, perusahaan menepisnya. Mereka menyebut lahan yang dikelola merupakan tanah milik warga yang sudah dibebaskan dan memiliki surat resmi dari desa. Selain itu, perusahaan juga telah mengantongi berbagai izin, mulai dari AMDAL, PKPLH, SK Bupati, hingga SIKK dari instansi terkait.
PT SPI juga mengklaim telah menjalankan tanggung jawab sosial (CSR), termasuk bantuan pembangunan masjid, kegiatan keagamaan, serta perekrutan tenaga kerja lokal.
Di sisi lain, berdasarkan Pasal 162 UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, tindakan menghalangi kegiatan usaha yang telah mengantongi izin dapat dikenai sanksi pidana penjara hingga 1 tahun atau denda maksimal Rp100 juta.
Kasus ini kini menjadi sorotan, karena muncul dugaan adanya kepentingan tersembunyi dan upaya penggiringan opini publik di balik isu makam keramat yang tiba-tiba mencuat setelah perusahaan mulai beroperasi.
Editor : Tim WGR
Sumber : Tokoh Agama dan Masyarakat