Arpian mengaku terlibat langsung dalam pengerjaan proyek selama kurang lebih 4 bulan 20 hari. Berdasarkan pengalamannya di lapangan, ia menilai pelaksanaan pekerjaan diduga tidak mengacu pada Rencana Kerja dan Syarat (RKS) serta spesifikasi teknis sebagaimana tercantum dalam kontrak.
Menurut Arpian, beberapa pekerjaan struktur diduga tidak dilaksanakan sesuai standar. Salah satunya adalah penggunaan tiang pancang sepanjang 6 meter, sementara spesifikasi seharusnya 9 meter, yang dinilai sebagai pengurangan volume pekerjaan dan berpotensi melemahkan struktur bangunan.
Selain itu, ukuran tiang bangunan di lapangan disebut hanya sekitar 27 sentimeter, tidak sesuai dengan standar 33 sentimeter. Ia juga menyoroti pengerjaan pondasi cakar ayam yang diduga tidak melalui penggalian sesuai ketentuan teknis, melainkan hanya dipantek langsung ke tanah.
Dari sisi material, Arpian mengungkap dugaan penggunaan baja ringan yang tidak berstandar SNI. Bahkan, pada pekerjaan lantai di tujuh ruangan, ia menyebut tidak digunakan bondek sebagaimana mestinya, melainkan hanya kombinasi wermes dan triplek, yang dinilai tidak layak untuk bangunan layanan kesehatan.
Tak hanya persoalan teknis, Arpian juga menyoroti hak pekerja yang diduga diabaikan. Ia mengaku hanya menerima upah Rp100.000 per hari dengan jam kerja sekitar 7–8 jam, nilai yang dinilai jauh di bawah standar upah sektor konstruksi, terlebih pada proyek yang bersumber dari anggaran pemerintah.
Persoalan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) juga menjadi perhatian. Menurutnya, Alat Pelindung Diri (APD) tidak disediakan secara layak dan berkelanjutan. APD disebut hanya digunakan saat dokumentasi atau kunjungan tertentu, bukan sebagai standar keselamatan kerja harian.
Selain itu, ia menyoroti persoalan transparansi proyek. Papan informasi proyek yang seharusnya dipasang di area terbuka dan mudah diakses publik, justru disebut disimpan di dalam area proyek, sehingga masyarakat tidak dapat mengetahui informasi pekerjaan secara jelas.
Jika dugaan tersebut benar, proyek ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, khususnya Pasal 59 dan Pasal 60 yang mewajibkan pemenuhan standar keselamatan, mutu, serta pelaksanaan pekerjaan sesuai spesifikasi teknis dan kontrak.
Dari aspek ketenagakerjaan dan K3, kondisi tersebut juga diduga melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur kewajiban penyediaan APD dan larangan pembayaran upah di bawah standar minimum.
Sementara itu, dugaan pengurangan volume pekerjaan dan penggunaan material di bawah spesifikasi berpotensi melanggar Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menekankan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta dapat berimplikasi pada potensi kerugian keuangan negara.
Apabila terbukti melalui audit dan pemeriksaan aparat berwenang, kondisi tersebut bahkan dapat dikaitkan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3, apabila terdapat unsur perbuatan melawan hukum yang menguntungkan pihak tertentu.
Hingga berita ini diturunkan, pihak kontraktor maupun instansi terkait belum memberikan keterangan resmi atas berbagai dugaan yang disampaikan mantan pekerja tersebut. Redaksi tetap membuka ruang hak jawab sesuai ketentuan Undang-Undang Pers dan mendorong aparat pengawas untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh demi menjamin kualitas dan keselamatan fasilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat.[AZ/Tim Red]

