“Tangisan dari Tenda: Air Mata Rakyat yang Menggetarkan Hati Umar bin Khattab” - Warta Global Kalbar

Mobile Menu

Top Ads

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

“Tangisan dari Tenda: Air Mata Rakyat yang Menggetarkan Hati Umar bin Khattab”

Monday, 9 June 2025
Photo:Ilustrasi

Kalbar.WARTAGLOBAL.id
-- Di antara sahabat Rasulullah ﷺ yang paling disegani, nama Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu selalu mengalir sebagai simbol kekuatan, keberanian, dan keadilan. Tapi lebih dari sekadar pemimpin yang ditakuti lawan dan disegani kawan, Umar adalah sosok yang hatinya terikat erat dengan nasib rakyatnya.

Bukan gedung megah yang jadi tempat tidurnya, bukan penjaga ketat yang memisahkannya dari umat, melainkan malam yang sunyi dan langkah kakinya sendiri yang menuntunnya menemukan makna sejati kepemimpinan.

Dan malam itu, dari sebuah tenda yang hampir roboh, tangisan anak-anak mengguncang hati pemimpin terbesar umat Islam setelah Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar r.a. — malam ketika Umar tidak hanya menjadi khalifah, tapi menjadi seorang ayah bagi anak-anak yang tak dikenalnya.


Malam yang Tak Dilupakan

Kisah ini tercatat dalam banyak riwayat shahih dan atsar, di antaranya dalam Musannaf Ibn Abi Syaibah dan Thabaqat Ibn Sa’d, dengan sanad yang kuat dari para tabiin.

Pada suatu malam, seperti biasanya, Umar bin Khattab berjalan mengelilingi sudut-sudut kota Madinah tanpa pengawal, hanya ditemani Aslam, pelayan setianya. Ia menyusuri jalan bukan untuk mencari pujian, tapi untuk mencari kesalahan dirinya — kesalahan seorang pemimpin yang bisa jadi luput dari pandangan mata.

Di kejauhan, di pinggir kota yang gelap dan terpencil, terdengar suara tangisan. Suara anak-anak yang merengek lapar. Umar mendekat dengan langkah hati-hati. Di sana, sebuah tenda lusuh berdiri, dan seorang wanita duduk di dekat api kecil dengan sebuah panci besar yang menggantung di atasnya.

"Apa yang engkau masak, wahai Ibu?" tanya Umar dengan lembut.

Wanita itu tidak mengenali Umar. Dengan nada letih, ia menjawab,
"Aku sedang memasak air dan batu... agar anak-anakku berpikir bahwa aku sedang memasak makanan. Mereka lapar, dan aku tak punya apa-apa untuk memberi mereka makan. Umar tidak peduli pada kami."

Umar terdiam. Matanya basah. Ia tidak menyebutkan siapa dirinya. Ia hanya mendengarkan dengan hati yang seakan diremukkan oleh keluhan itu. Seorang ibu yang tidak tahu bahwa lelaki di hadapannya adalah sang khalifah.


Pemimpin yang Memikul Amanah, Bukan Sekadar Gelar

Tanpa sepatah pun pembelaan, Umar bergegas kembali ke Baitul Mal. Ia memilih sendiri sekarung gandum dan lemak, lalu memikulnya di pundak. Aslam yang melihat itu berkata:

"Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku yang memikulnya."


Namun Umar menjawab dengan suara yang mengguncang jiwa setiap pemimpin sejati:

"Apakah engkau yang akan memikul dosaku pada hari kiamat?"


Di tengah malam yang dingin, Umar berjalan memanggul makanan itu kembali ke tenda. Ia tidak hanya memberikannya kepada sang ibu, tapi juga memasak sendiri makanan untuk anak-anak itu, meniup api, dan menunggu sampai mereka kenyang dan tertidur.

Ia tersenyum kecil melihat anak-anak itu tertidur dengan tenang. Kemudian berkata kepada Aslam,

 “Mereka menangis karena lapar, dan aku tidak akan pergi sebelum aku melihat mereka tertawa.”


Lebih Dari Sekadar Kisah

Ini bukan sekadar cerita sejarah. Ini adalah potret nyata dari kepemimpinan Islami. Seorang pemimpin sejati adalah orang yang merasakan derita rakyatnya bukan karena laporan pejabat, tapi karena ia sendiri mencarinya — dengan mata, telinga, dan hatinya.

Umar tidak menyalahkan sistem. Ia menyalahkan dirinya. Baginya, setiap lapar di antara umat Islam adalah dosa yang harus ia tanggung, bukan statistik untuk dibicarakan dalam rapat-rapat dingin.


Warisan Kepemimpinan Umar

Umar bin Khattab bukan hanya dikenal karena kisah itu. Kepemimpinannya membekas dalam sistem pemerintahan Islam:

Ia mendirikan sistem pencatatan keuangan negara (diwan)

Membuat kalender Hijriyah yang kita gunakan hingga hari ini

Menunjuk para hakim dan pejabat yang jujur dan bertakwa

Menjaga hak non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam

Memastikan distribusi zakat dan jizyah dilakukan adil dan tepat



Penutup: Siapa Umar bagi Kita?

Kita hidup di zaman di mana gelar pemimpin mudah diperoleh, tapi kepekaan terhadap rakyat menjadi langka. Umar bin Khattab mengajarkan bahwa kekuasaan bukan kehormatan, melainkan beban pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Dalam diam malam itu, Umar telah menuliskan pelajaran paling agung tentang kepemimpinan: bahwa air mata seorang anak yatim, jeritan seorang ibu miskin, dan nyala api di sebuah tenda bisa lebih berarti daripada seluruh jabatan dan istana.

Nabi Muhammad ﷺ Pernah Bersabda;
 “Jika ada nabi setelahku, niscaya Umar-lah orangnya.”
(HR. Tirmidzi, no. 3686 — hasan shahih)


Pelajaran untuk Kita

1. Kepemimpinan adalah amanah, bukan kemewahan.


2. Empati lebih penting dari strategi.


3. Tanggung jawab seorang pemimpin menyentuh sampai ke tenda-tenda terpencil.


4. Keteladanan lebih kuat dari ribuan kata.

Penulis:[A AZWAR]



Klik