
Kembalinya PETI ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Pasalnya, praktik penambangan ilegal tersebut bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya sempat mereda, namun kini kembali beroperasi seolah tidak tersentuh penegakan hukum.
Warga setempat mengaku resah. Selain merusak lingkungan dan mencemari sungai, aktivitas PETI dinilai berlangsung karena adanya pembiaran. Di tengah masyarakat berkembang isu adanya dugaan setoran dari setiap lanting PETI kepada oknum tertentu agar aktivitas ilegal tersebut tetap berjalan aman.
“PETI ini bukan baru kemarin. Sudah bertahun-tahun. Berhenti sebentar, lalu jalan lagi. Kalau tidak ada yang membekingi, rasanya mustahil bisa seperti ini,” ujar seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Aparat Dinilai Tidak Bertindak
Sorotan tajam juga diarahkan kepada aparat penegak hukum setempat, khususnya Polres Sanggau. Sejumlah warga menilai selama ini aparat terkesan hanya berpangku tangan dan tidak menunjukkan langkah penindakan yang nyata, meskipun aktivitas PETI berlangsung terang-terangan di badan Sungai Kapuas.
“Lantingnya jelas kelihatan, siang malam kerja. Tapi tidak pernah ada tindakan. Kami sebagai masyarakat jadi bertanya-tanya, sebenarnya hukum ini masih berlaku atau tidak,” kata warga lainnya.
Ketiadaan penindakan tersebut memicu persepsi negatif di tengah masyarakat. Bahkan berkembang rumor dugaan adanya setoran kepada oknum aparat, termasuk isu yang menyeret oknum petinggi di jajaran Polres Sanggau. Meski informasi ini masih berupa dugaan dan belum terkonfirmasi secara resmi, isu tersebut disebut warga sudah menjadi rahasia umum di lapangan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Polres Sanggau belum memberikan keterangan resmi terkait maraknya kembali aktivitas PETI di Sungai Kapuas maupun tudingan pembiaran yang disampaikan masyarakat.
Dampak Lingkungan dan Sosial
Aktivitas PETI tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa dampak serius bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat. Pengerukan dasar sungai menyebabkan kekeruhan air Sungai Kapuas, merusak ekosistem perairan, serta mengancam sumber air bersih warga.
Selain itu, penggunaan bahan berbahaya seperti merkuri dalam proses pemisahan emas berpotensi mencemari air dan sedimen sungai. Dalam jangka panjang, pencemaran ini dapat membahayakan kesehatan manusia, terutama masyarakat yang menggantungkan hidup dari sungai untuk kebutuhan sehari-hari dan perikanan.
PETI juga berpotensi memicu konflik sosial, mempercepat degradasi lingkungan, serta menghilangkan potensi pendapatan negara dan daerah dari sektor pertambangan yang seharusnya dikelola secara legal dan berkelanjutan.
Ancaman Pidana
Aktivitas PETI jelas melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, di antaranya:
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 158, yang mengancam pelaku penambangan tanpa izin dengan pidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 98 dan 99, dengan ancaman pidana penjara serta denda hingga Rp10 miliar bagi pelaku pencemaran lingkungan.
Ketentuan pidana dalam KUHP, apabila terbukti terdapat unsur pembiaran, penyalahgunaan kewenangan, atau praktik suap.
Desakan Penindakan Tegas
Masyarakat mendesak agar pemerintah pusat, Kementerian ESDM, KLHK, Polda Kalimantan Barat, hingga Mabes Polri turun langsung ke lapangan. Penindakan dinilai harus menyasar tidak hanya pelaku di lapangan, tetapi juga pihak-pihak yang diduga menjadi beking atau menikmati keuntungan dari aktivitas PETI.
Tanpa penindakan tegas dan transparan, masyarakat khawatir PETI di Sungai Kapuas akan terus berulang, semakin meluas, merusak lingkungan, dan mencederai kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.
Sungai Kapuas sebagai urat nadi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat kini berada di ambang kerusakan serius jika aktivitas ilegal tersebut terus dibiarkan.[AZ]
Sumber:[Tim Investigasi WGR]

