Kalbar.WARTAGLOBAL.id, Sanggau, Kalimantan Barat – Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di bantaran Sungai Kapuas kembali mencuat ke publik setelah video amatir warga yang memperlihatkan rakit-rakit penambangan ilegal viral di media sosial. Berdasarkan investigasi yang dilakukan tim media pada Kamis, 16 Januari 2025, aktivitas PETI masih berlangsung di Desa Semerangkai dan Sungai Batu. Namun, hanya dua hari setelah video tersebut ramai dibicarakan, rakit-rakit itu mendadak menghilang dari lokasi pada 18 Januari 2025.
/storage/emulated/0/Download/VID-20250120-WA0020.mp4
Warga setempat menduga ada upaya untuk menutupi aktivitas ilegal ini setelah menjadi perhatian luas. Anehnya, pada 20 Januari 2025, media lokal mengklaim bahwa PETI di Sungai Kapuas sudah lama tidak beroperasi. Klaim ini langsung memicu kontroversi karena bertentangan dengan fakta di lapangan. Bukti foto, video, dan koordinat lokasi yang telah dikumpulkan tim investigasi menunjukkan aktivitas PETI masih berlangsung hingga pertengahan Januari.
“Bukti yang kami miliki sangat jelas. Video amatir memperlihatkan rakit-rakit PETI aktif beroperasi. Tapi setelah video viral, mereka tiba-tiba menghilang/pergi meninggalkan lokasi kerjanya yang di klaim sungai Kapuas bersih, tidak ada aktivitas PETI, pada 20-01-2025 Ini membuktikan ada upaya untuk menyembunyikan aktivitas tersebut,” ungkap seorang anggota tim investigasi. Keberadaan rakit PETI ini, yang kerap beroperasi secara terbuka, mencerminkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di daerah tersebut.
Dampak dari aktivitas PETI sangat merugikan masyarakat dan lingkungan. Proses penambangan menggunakan merkuri telah mencemari air Sungai Kapuas, merusak ekosistem, dan mengancam mata pencaharian nelayan serta petani. “Limbah merkuri yang mereka buang ke sungai akan terus mencemari lingkungan selama bertahun-tahun. Rakit boleh pergi, tapi kerusakannya tetap ada,” ujar seorang aktivis lingkungan setempat.
Aktivitas PETI ini jelas melanggar sejumlah undang-undang di Indonesia. Pelanggaran yang terjadi antara lain Pasal 158 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang mengancam penambang tanpa izin dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar. Selain itu, pencemaran sungai akibat limbah merkuri melanggar Pasal 98 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.
Meski sudah ada bukti kuat, klaim bahwa PETI telah lama diberantas menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat. Banyak yang menduga adanya oknum yang melindungi atau melanggengkan aktivitas ilegal ini. “Jika PETI sudah tidak ada, lalu siapa yang bertanggung jawab atas video dan bukti yang jelas memperlihatkan aktivitas tersebut masih berlangsung?” tanya seorang warga.
Desakan kepada pemerintah dan aparat untuk bertindak tegas semakin menguat. Masyarakat, aktivis lingkungan, dan sejumlah organisasi meminta adanya penyelidikan independen untuk memastikan tidak ada pihak yang terlibat melindungi aktivitas ilegal ini. Transparansi dan penegakan hukum dianggap menjadi kunci untuk menyelesaikan kasus ini secara tuntas.
Kasus PETI di Sungai Kapuas menjadi cerminan betapa lemahnya pengawasan terhadap aktivitas ilegal yang merusak lingkungan. Jika tidak ada tindakan nyata, kerusakan lingkungan akan terus berlanjut, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta aparat akan semakin merosot. Kini, semua mata tertuju pada pemerintah untuk membuktikan komitmennya dalam melindungi lingkungan dan masyarakat.
[AZ/Tim WGR]
Editor:JN
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment