
Aksi gotong royong dilakukan bukan di siang hari, melainkan malam hari setelah Magrib. Dengan membawa semen, pasir, kayu, dan peralatan seadanya, warga bekerja dalam gelap demi menciptakan akses yang layak bagi keluarga mereka. "Kami kerja malam karena siang semua cari nafkah. Kalau bukan kami, siapa lagi?" ucap salah satu warga kepada awak media.
Upaya ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah yang dinilai abai. Warga menyebut telah berulang kali mengajukan permohonan perbaikan, namun selalu berakhir tanpa tindak lanjut. Sementara gang-gang lain di kawasan 'elit' justru mendapatkan perhatian cepat dan anggaran memadai.
“Kami tidak butuh janji, kami butuh jalan yang bisa dilalui tanpa terpeleset atau berdebu tiap hari. Jangan sampai pembangunan hanya jadi alat pencitraan,” ujar seorang tokoh masyarakat. Bagi mereka, pembangunan bukan soal fisik semata, tapi juga soal keadilan dan kepedulian.
Jalan rusak ini telah lama menjadi keluhan, terutama saat musim hujan yang mengubahnya menjadi kubangan. Di musim kemarau, debu tebal mengganggu aktivitas warga, termasuk anak-anak dan lansia. Kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun dan membuat warga merasa dianaktirikan di tanah sendiri.
Ketika pembangunan harus dilakukan rakyat sendiri, ke mana perginya pemerintah? Pertanyaan ini terus bergema di Gang Mawar. Aksi warga malam hari kini menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan pembangunan—pesan senyap yang berbicara lebih keras dari spanduk program pemerintah.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan dari pihak Desa Parit Baru maupun Kecamatan Sungai Raya. Awak media akan terus mengikuti perkembangan ini, karena akses jalan bukan kemewahan—melainkan hak dasar setiap warga negara.[AZ]
Sumber:[Johandi]

KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment